Rabu, 18 Oktober 2017

Hukum Mengadopsi Anak yang Lahir di Luar Pernikahan

Hukum Mengadopsi Anak yang Lahir di Luar Pernikahan

Kami jelaskan bahwa anak dari zina pada dasarnya suci. Ia tidak membawa dan tidak memikul dosa orang tuanya. Ia bisa masuk surga atau neraka tergantung dari amal ibadahnya sendiri. Karena Allah SWT berfirman,
"Tidak seseorang itu menanggung dosa orang lain." (An-Najm: 38)

Oleh karena itu, tidak ada larangan untuk merawat anak zina, mendidiknya dan menyekolahkannya sampai pendidikan tertinggi.
Namun demikian, ada permasalahan hukum kalau mengambil anak yang tidak memiliki hubungan kemahraman dengan anda dan suami. Status anak tersebut tetap sebagai orang lain dan tidak ada hubungan kekerabatan dengan anda berdua.

Oleh karena itu, kalau dia perempuan, maka haram hukumnya melakukan khalwat (berduaan dalam satu ruangan) dengan suami anda di rumah. Kalau dia laki-laki, maka haram baginya untuk berduaan dengan ibu angkatnya.

Karena Islam melarang adanya khalwat antara dua lawan jenis yang bukan mahram dan bukan suami istri. Solusi dalam mengadopsi anak agar tidak timbul masalah mahram ini ada dua: Pertama, ambil anak yang ada hubungan mahram (kekerabatan dekat) dengan orang tua angkat yang lawan jenis.

Misalnya, kalau anak perempuan, maka hendaknya ia ada hubungan mahram dengan bapak angkat.

Kalau yang akan diadopsi itu anak laki-laki, maka hendaknya ia mahram dengan ibu angkatnya.
Dengan demikian maka tidak ada penghalang untuk khalwat dan membuka sebagian aurat di depan anak angkat.

Alternatif kedua adalah menjadikan anak tersebut sebagai anak susuan (radha'ah) dengan cara ibu angkat menyusui anak tersebut saat bayi (sebelum usia 2 tahun). Apabila demikian, maka ia menjadi mahram bagi ibu dan bapak angkatnya.
Perlu juga diketahui, bahwa anak angkat tidak mewarisi. Ia tidak mendapat warisan apapun apabila orang tua angkatnya meninggal dunia. Jadi, kalau mau memberikan bagian harta pada anak angkat, hendaknya diberikan saat orang tua masih



Hukum Mengangkat (Mengadopsi) Anak

Hukum Mengangkat Anak

Hukumnya diperbolehkan, tapi anak angkat itu tetap saja bukan mahrom (dari yang saya pahami) nanti silahkan di baca di bawah !

Namun demikian, ada permasalahan hukum kalau mengambil anak yang tidak memiliki hubungan kemahraman dengan anda dan suami. Status anak tersebut tetap sebagai orang lain dan tidak ada hubungan kekerabatan dengan anda berdua.
Oleh karena itu, kalau dia perempuan, maka haram hukumnya melakukan khalwat (berduaan dalam satu ruangan) dengan suami anda di rumah. Kalau dia laki-laki, maka haram baginya untuk berduaan dengan ibu angkatnya.

Sebelum mengangkat anak setidaknya sempatkan membaca !
Ada sebuah cerita semoga bermanfaat...

Ada cerita dari negeri hindi atau sekarang adalah india. Di sana ada sebuah keluarga yang mengadopsi seorang anak. Kemudian keluargta itu merawatnya sampai tumbuh dewasa. Ketika beranjak dewasa anak itu suka sama ibunya (istri dari yang mengadopsi tadi). Suatau hari laki-laki (yang mengadopsi) melihat anak itu (yg diadopsi) berada di atas tubuh istrinya. Dan kemudian seketika laki-laki itu mengambil golok (sejenis pisau). Karena marah laki-laki itu langsung memotong alat kelamin dari budak itu (anak yg di adopsi). Kemudian laki-laki ini menyesal karena telah melakukannya (memotong). Karena menyesal laki-laki itu menyembuhkan budak tadi. Tapi, budak ini dendam kepada laki-laki itu yang telah memotong alat kelaminnya lebih kejam. Dia udah tidak berfikir lagi bahwa dia yang telah mengadopsinya. Di luar budak ini (anak yg di adopsi) laki-laki tadi mempunyai 2 anak laki-laki yang masih bocah dan beranjak baligh.

Suatu hari laki-laki ini pergi keluar untung melakukan sesuatu. Dan di lain sisi budak tadi datang dan menjalankan rencananya. Budak itu mengajak kedua bocah laki-laki itu naik ke atas bangunan (loteng). Budak itu memberi kedua bocah itu makanan dan mainan sambil mengajaknya bermain. Tak lama kemudian laki-laki (bapak kedua bocah dan yg mengadopsi budak) pulang. Ketika di depan rumah laki-laki itu melihat ke atas dan mendapati kedua anaknya berada di atas loteng bersama budak tadi. Seketika itu laki-laki tadi mengucap “Allah Allah, apa kamu ingin mendatangkan pati (kematian) kepada kedua anakku !?”, “ya, aku akan melempar anak-anakmu ini kecuali kamu memotong sendiri alat kelaminmu sendiri seperti halnya yang kamu lakukan padaku.” Jawab budak itu. Laki-laki itu terus mengucapkan kalimat tadi “Allah Allah, apakah kamu tidak ingat aku yang merawatmu dari kecil ?” budak tadi sudah tidak peduli. Kemudian laki-laki itu mencoba untuk naik ke atas loteng, tapi saat mau naik budak itu melongggarkan pegangan tangannya pada kedua bocah tadi yang sudah bersiap melepaskan bocah tadi tadi jatuh ke tanah. Kemudian laki-laki itu berkata “sabar sabar... jangan kau lempar anak-anakku, ingat Allah.” Tapi budak itu sudah gapeduli . kemudian laki-laki itu mengeluarkan goloknya dan memotong alat kelaminnya. Kemudian budak itu memastikan kalau laki-laki itu benar-benar metotong alat kelaminnya. Ketika alat kelaminnya sudah di potong kemudian budak itu melemparkan kedua bocah tadi dan akhirnya kedua bocah tadi mati.

JADI INTI DARI CERITA INI ADALAH BERHATI-HATILAH KETIKA MENGADOPSI ANAK. TELITI DAN TELUSURI DARIMANA ANAK ITU (SILSILAH). SIAPA ORANG TUANYA BAGAIMANA SIFATNYA. KARENA BUAH JATUH TAK JAUH DARI POHONNYA. SEDIKIT-SEDIKITPUN SIFATNYA PASTI MENURUN PADA ANAKNYA KARENA ITU GEN.

SEMOGA BERMANFAAT !
*Mengangkat Anak Tetap di perbolehkan !

Anak Angkat dalam Pemahan Jahiliyah
Anak angkat dalam pemahaman jahiliyah pemahaman jahiliyah itu dapat menerima warisan dan menghalangi keluarga dekat asli yang mestinya berhak menerimanya. Oleh karena itu, tidak sedikit keluarga yang sebenarnya merasa dengki terhadap orang baru yang bukan dari kalangan mereka ini, yang merampas hak milik mereka dan menghalangi warisan yang telah menjadi harapannya
Orang-orang Arab di masa jahiliyah dan begitu juga bangsa-bangsa lainnya banyak yang menisbatkan orang lain dengan nasabnya dengan sesukanya, dengan jalan mengambil anak angkat. Realitas itulah yang ditentang dalam Islam.
Dalam Islam, seorang laki-laki boleh memilih anak-anak kecil untuk dijadikan anak, kemudian diproklamirkan. Maka, si anak tersebut menjadi satu dengan anak-anaknya sendiri dan satu keluarga, sama-sama senang dan sama-sama susah, memiliki hak-hak yang sama, terkecuali dalam soal warisan, kemahroman, batasan melihat, dan memperlihatkan aurat, dan hak perwalian nikah.
Mengangkat seorang anak seperti ini sedikit pun tidak dilarang. Kendati si anak yang diangkat itu jelas-jelas mempunyai ayah yang mungkin sudah wafat sehingga menjadi yatim, atau masih hidup tapi tak mampu mengasuhnya, dan nasabnya pun sudah dikenal.
Islam datang, sedang masalah pengangkatan anak ini tersebar luas di masyarakat Arab, sehingga Nabi Muhammad sendiri mengangkat seorang anak, yaitu Zaid bin Haritsah sejak zaman jahiliyah. Zaid waktu itu seorang anak muda yang ditawan sejak kecil dalam salah satu penyerbuan jahiliyah, yang kemudian dibeli oleh Hakim bin Hizam untuk diberikan kepada bibinya yang bernama Khodijah, dan selanjutnya diberikan oleh Khodijah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sesudah beliau menikah dengannya.
Setelah ayah dan pamannya mengetahui tempatnya, kemudian mereka meminta Zaid kepada Nabi, namun Zaid disuruh oleh Nabi untuk memilih. Dan, Zaid lebih senang memilih Nabi sebagai ayah daripada ayah dan paman kandungnya sendiri. Lantas oleh Nabi ia dimerdekakan, lalu diangkat sebagai anaknya sendiri dan disaksikan oleh orang banyak. Sejak itu Zaid dikenal dengan nama Zaid bin Muhammad, dan ia termasuk bekas budak yang pertama kali masuk Islam.

Bagaimana Pandangan Islam dari Pemahaman Bangsa Jahiliyah ?
Islam berpendapat secara pasti bahwa pengangkatan anak dalam konteks seperti itu, tidak lain adalah bentuk pemalsuan terhadap realitas, pemalsuan yang menjadikan seseorang terasing dari lingkungan keluarganya. Dia dapat bergaul bebas dengan perempuan keluarga baru itu dengan dalih sebagai mahrom, padahal hakikatnya mereka itu sama sekali orang asing. Istri dari ayah yang memungut bukan ibunya sendiri, begitu juga anak perempuannya, saudara perempuannya atau bibinya. Dia sendiri sebenarnya orang asing dari semuanya itu.
Anak angkat dalam pemahaman jahiliyah pemahaman jahiliyah itu dapat menerima warisan dan menghalangi keluarga dekat asli yang mestinya berhak menerimanya. Oleh karena itu, tidak sedikit keluarga yang sebenarnya merasa dengki terhadap orang baru yang bukan dari kalangan mereka ini, yang merampas hak milik mereka dan menghalangi warisan yang telah menjadi harapannya. Kedengkian ini banyak sekali membangkitkan hal-hal yan tidak baik, dapat menyalakan api fitnah, serta memutus hubungan famili dan kekeluargaan.
Akhirnya, Al-Qur’an menghapus aturan jahiliyah ini, sehingga mengadopsi anak untuk memiliki hak penuh sama dengan anak-anak kandung diharamkan untuk selama-lamanya. Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Allah tidak menjadikan  anak-anak angkatmu itu sebagai anak-anakmu sendiri, yang demikian itu adalah omongan-omonganmu dengan mulut-mulutmu, sedang Allah berkata dengan benar dan Dialah yang menunjukan ke jalan yang bapak-bapak mereka, sebab itu lebih lurus di sisi Allah. Jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka mereka itu adalah saudaramu seagama dan kawan-kawanmu.” (Al-Ahzab [33] : 4-5).
Zaid bin Haritsah yang kita kenal sebagai Zaid bin Muhammad, telah dinikahkan dengan Zainab binti Jahsy, sepupu Nabi sendiri. Namun, kehidupan mereka berdua selalu goncang. Zaid sendiri sudah banyak mengadu kepada Nabi tentang keadaan istrinya, dan Nabi sendiri juga mengetahui bahwa Zaid ingin menceraikannya. Maka, dengan wahyu Allah, Zainab kelak akan dinikahi oleh Nabi. Nabi takut bertemu dengan orang banyak, maka beliau berkata kepada Zaid, “Tahanlah istrimu itu dan takutlah kepada Allah”.
Di sinilah ayat Al-Qur’an kemudian turun untuk menegur sikap Nabi. Dan seketika itu beliau menyingsingkan lengan bajunya untuk tampil ke tengah-tengah masyarakat, guna menghapus sisa-sisa aturan kuno dan tradisi yang usang, yang mengharamkan seseorang menikahi bekas istri anak angkatnya yang pada hakikatnya ia adalah orang asing. Maka, Allah menegaskan (yang artinya), “Dan (ingatlah) ketika engkau berkata kepada orang yang telah diberi nikmat oleh Allah dan engkau juga telah memberi kenikmatan kepadanya (Zaid bin Haritsah). ‘Tahanlah untukmu istrimu dan takutlah kepada Allah’, dan engkau menyembunyikan dalam hatimu apa yang Allah tampakkan, dan engaku takut kepada manusia, padahal Allahlah yang lebih berhak engaku takuti. Maka tatkala Zaid memutuskan untuk mencerai Zainab, Kami (Allah) nikahkan engkau dengan dia, supaya tidak menjadikan beban bagi orang-orang mukmin tentang bolehnya mengawini bekas istri anak-anak angkatnya apabila mereka itu telah memutuskan mencerainya, dan kepustusan Allah pasti terlaksana.” (Al-Ahzab [33] : 37).
Kemudian Al-Qur’an meneruskan untuk melindungi pribadi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perbuatan ini, memperkuat alasannya dan menghilangkan anggapan dosa karena perbuatan itu. Maka, ditegaskan dalam Al-Qur’an (yang artinya), “Tidak boleh ada keberatan atas diri Nabi dalam hal yang telah diwajibkan oleh Allah kepadanya menurut sunatullah pada orang-orang yang telah lalu sebelumnya, sebab perintah Allah itu suatu ketentuan yang telah ditentukan, (yaitu) orang-orang yang menyampaikan suruhan Allah dan mereka takut kepada-Nya, dan tidak takut kepada siapa pun kecuali kepada Allah; dan cukuplah Allah sebagai pengira. Tidaklah Muhammad itu ayah bagi seseorang laki-laki kamu, tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup bagi sekalian Nabi, dan Allah Maha Mengetahui tiap-tiap sesuatu.” (Al-Ahzab [33] : 38-40).
pengangkatan anak yang diakui oleh beberapa orang, tetapi pada hakikatnya bukan pengangkatan anak yang diharamkan oleh Islam. Yaitu seorang ayah memungut seorang anak kecil yatim atau mendapatkan di jalanan, kemudian dijadikan seperti anaknya sendiri, baik dalam hal kasih sayangnya, pemeliharaannya maupun pendidikannya. Anak itu diasuh, diberinya makan, diberinya pakaian, diajar dan diajak bergaul seperti anaknya sendiri. Tetapi bedanya, dia tidak menasabkan anak itu pada dirinya dan tidak diperlakukan padanya hukum-hukum anak seperti tersebut di atas.
Ini suatu cara yang terpuji dalam pandangan agama Allah. Siapa yang mengerjakannya akan beroleh pahala kelak di surga. Seperti yang dikatakan sendiri oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam haditsnya, “Saya akan bersama orang yang menanggung anak yatim seperti ini, sambil ia menunjuk jari telunjuk dan jari tengah, lalu ia renggangkan antara keduanya.” (HR. Bukhari, Abu Dawud dan Tirmidzi).
Laqith (anak yang dipungut di jalan) sama dengan anak yatim. Tetapi untuk anak seperti ini lebih patut dinamakan ibnu sabil (anak jalan) yang oleh Islam kita dianjurkan untuk memeliharanya.
Apabila seseorang yang memungutnya itu tidak mempunyai keluarga, kemudian ia bermaksud akan memberikan hartanya itu kepada anak pungutnya tersebut, maka ia dapat menyalurkan melalui cara hibah sewaktu ia masih hidup, atau dengan jalan wasiat dalam batas sepertiga pusaka, sebelum ia meninggal dunia.


Sejarah tadi Disalin ulang dari buku “Bersanding dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di Surga“, karya Ust. Abu Umar Basyir, penerbit: Mumtaza