Hukum Mengangkat
Anak
Hukumnya diperbolehkan, tapi anak angkat itu tetap saja
bukan mahrom (dari yang saya pahami) nanti silahkan
di baca di bawah !
Namun
demikian, ada permasalahan hukum kalau mengambil anak yang tidak memiliki
hubungan kemahraman dengan anda dan suami. Status anak tersebut tetap sebagai
orang lain dan tidak ada hubungan kekerabatan dengan anda berdua.
Oleh
karena itu, kalau dia perempuan, maka haram hukumnya melakukan khalwat
(berduaan dalam satu ruangan) dengan suami anda di rumah. Kalau dia laki-laki,
maka haram baginya untuk berduaan dengan ibu angkatnya.
Sebelum
mengangkat anak setidaknya sempatkan membaca !
Ada sebuah cerita
semoga bermanfaat...
Ada cerita dari negeri hindi atau sekarang adalah india.
Di sana ada sebuah keluarga yang mengadopsi seorang anak. Kemudian keluargta
itu merawatnya sampai tumbuh dewasa. Ketika beranjak dewasa anak itu suka sama
ibunya (istri dari yang mengadopsi tadi). Suatau hari laki-laki (yang
mengadopsi) melihat anak itu (yg diadopsi) berada di atas tubuh istrinya. Dan
kemudian seketika laki-laki itu mengambil golok (sejenis pisau). Karena marah
laki-laki itu langsung memotong alat kelamin dari budak itu (anak yg di
adopsi). Kemudian laki-laki ini menyesal karena telah melakukannya (memotong).
Karena menyesal laki-laki itu menyembuhkan budak tadi. Tapi, budak ini dendam
kepada laki-laki itu yang telah memotong alat kelaminnya lebih kejam. Dia udah
tidak berfikir lagi bahwa dia yang telah mengadopsinya. Di luar budak ini (anak
yg di adopsi) laki-laki tadi mempunyai 2 anak laki-laki yang masih bocah dan
beranjak baligh.
Suatu hari laki-laki ini pergi keluar untung melakukan
sesuatu. Dan di lain sisi budak tadi datang dan menjalankan rencananya. Budak
itu mengajak kedua bocah laki-laki itu naik ke atas bangunan (loteng). Budak
itu memberi kedua bocah itu makanan dan mainan sambil mengajaknya bermain. Tak
lama kemudian laki-laki (bapak kedua bocah dan yg mengadopsi budak) pulang.
Ketika di depan rumah laki-laki itu melihat ke atas dan mendapati kedua anaknya
berada di atas loteng bersama budak tadi. Seketika itu laki-laki tadi mengucap
“Allah Allah, apa kamu ingin mendatangkan pati (kematian) kepada kedua anakku
!?”, “ya, aku akan melempar anak-anakmu ini kecuali kamu memotong sendiri alat
kelaminmu sendiri seperti halnya yang kamu lakukan padaku.” Jawab budak itu.
Laki-laki itu terus mengucapkan kalimat tadi “Allah Allah, apakah kamu tidak
ingat aku yang merawatmu dari kecil ?” budak tadi sudah tidak peduli. Kemudian
laki-laki itu mencoba untuk naik ke atas loteng, tapi saat mau naik budak itu
melongggarkan pegangan tangannya pada kedua bocah tadi yang sudah bersiap
melepaskan bocah tadi tadi jatuh ke tanah. Kemudian laki-laki itu berkata
“sabar sabar... jangan kau lempar anak-anakku, ingat Allah.” Tapi budak itu
sudah gapeduli . kemudian laki-laki itu mengeluarkan goloknya dan memotong alat
kelaminnya. Kemudian budak itu memastikan kalau laki-laki itu benar-benar
metotong alat kelaminnya. Ketika alat kelaminnya sudah di potong kemudian budak
itu melemparkan kedua bocah tadi dan akhirnya kedua bocah tadi mati.
JADI INTI DARI CERITA INI ADALAH BERHATI-HATILAH KETIKA
MENGADOPSI ANAK. TELITI DAN TELUSURI DARIMANA ANAK ITU (SILSILAH). SIAPA ORANG
TUANYA BAGAIMANA SIFATNYA. KARENA BUAH JATUH TAK JAUH DARI POHONNYA.
SEDIKIT-SEDIKITPUN SIFATNYA PASTI MENURUN PADA ANAKNYA KARENA ITU GEN.
SEMOGA BERMANFAAT !
*Mengangkat Anak Tetap di perbolehkan !
Anak Angkat dalam
Pemahan Jahiliyah
Anak angkat dalam pemahaman jahiliyah
pemahaman jahiliyah itu dapat menerima warisan dan menghalangi keluarga dekat
asli yang mestinya berhak menerimanya. Oleh karena itu, tidak sedikit keluarga
yang sebenarnya merasa dengki terhadap orang baru yang bukan dari kalangan
mereka ini, yang merampas hak milik mereka dan menghalangi warisan yang telah
menjadi harapannya
Orang-orang Arab di masa jahiliyah dan
begitu juga bangsa-bangsa lainnya banyak yang menisbatkan orang lain dengan
nasabnya dengan sesukanya, dengan jalan mengambil anak angkat. Realitas itulah
yang ditentang dalam Islam.
Dalam Islam, seorang laki-laki boleh
memilih anak-anak kecil untuk dijadikan anak, kemudian diproklamirkan. Maka, si
anak tersebut menjadi satu dengan anak-anaknya sendiri dan satu keluarga,
sama-sama senang dan sama-sama susah, memiliki hak-hak yang sama, terkecuali
dalam soal warisan, kemahroman, batasan melihat, dan memperlihatkan aurat, dan
hak perwalian nikah.
Mengangkat seorang anak seperti ini sedikit
pun tidak dilarang. Kendati si anak yang diangkat itu jelas-jelas mempunyai
ayah yang mungkin sudah wafat sehingga menjadi yatim, atau masih hidup tapi tak
mampu mengasuhnya, dan nasabnya pun sudah dikenal.
Islam datang, sedang masalah pengangkatan
anak ini tersebar luas di masyarakat Arab, sehingga Nabi Muhammad sendiri
mengangkat seorang anak, yaitu Zaid bin Haritsah sejak zaman jahiliyah. Zaid
waktu itu seorang anak muda yang ditawan sejak kecil dalam salah satu
penyerbuan jahiliyah, yang kemudian dibeli oleh Hakim bin Hizam untuk diberikan
kepada bibinya yang bernama Khodijah, dan selanjutnya diberikan oleh Khodijah
kepada Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam sesudah beliau menikah dengannya.
Setelah ayah dan pamannya mengetahui
tempatnya, kemudian mereka meminta Zaid kepada Nabi, namun Zaid disuruh oleh
Nabi untuk memilih. Dan, Zaid lebih senang memilih Nabi sebagai ayah daripada
ayah dan paman kandungnya sendiri. Lantas oleh Nabi ia dimerdekakan, lalu
diangkat sebagai anaknya sendiri dan disaksikan oleh orang banyak. Sejak itu
Zaid dikenal dengan nama Zaid bin Muhammad, dan ia termasuk bekas budak yang
pertama kali masuk Islam.
Bagaimana Pandangan Islam dari Pemahaman Bangsa Jahiliyah
?
Islam berpendapat secara pasti bahwa
pengangkatan anak dalam konteks seperti itu, tidak lain adalah bentuk pemalsuan
terhadap realitas, pemalsuan yang menjadikan seseorang terasing dari lingkungan
keluarganya. Dia dapat bergaul bebas dengan perempuan keluarga baru itu dengan
dalih sebagai mahrom, padahal hakikatnya mereka itu sama sekali orang asing.
Istri dari ayah yang memungut bukan ibunya sendiri, begitu juga anak
perempuannya, saudara perempuannya atau bibinya. Dia sendiri sebenarnya orang
asing dari semuanya itu.
Anak angkat dalam pemahaman jahiliyah
pemahaman jahiliyah itu dapat menerima warisan dan menghalangi keluarga dekat
asli yang mestinya berhak menerimanya. Oleh karena itu, tidak sedikit keluarga
yang sebenarnya merasa dengki terhadap orang baru yang bukan dari kalangan
mereka ini, yang merampas hak milik mereka dan menghalangi warisan yang telah
menjadi harapannya. Kedengkian ini banyak sekali membangkitkan hal-hal yan
tidak baik, dapat menyalakan api fitnah, serta memutus hubungan famili dan
kekeluargaan.
Akhirnya,
Al-Qur’an menghapus aturan jahiliyah ini, sehingga mengadopsi anak untuk
memiliki hak penuh sama dengan anak-anak kandung diharamkan untuk
selama-lamanya. Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Allah tidak menjadikan anak-anak angkatmu itu sebagai
anak-anakmu sendiri, yang demikian itu adalah omongan-omonganmu dengan
mulut-mulutmu, sedang Allah berkata dengan benar dan Dialah yang menunjukan ke
jalan yang bapak-bapak mereka, sebab itu lebih lurus di sisi Allah. Jika kamu
tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka mereka itu adalah saudaramu seagama
dan kawan-kawanmu.” (Al-Ahzab [33] : 4-5).
Zaid bin Haritsah yang kita kenal sebagai
Zaid bin Muhammad, telah dinikahkan dengan Zainab binti Jahsy, sepupu Nabi
sendiri. Namun, kehidupan mereka berdua selalu goncang. Zaid sendiri sudah
banyak mengadu kepada Nabi tentang keadaan istrinya, dan Nabi sendiri juga
mengetahui bahwa Zaid ingin menceraikannya. Maka, dengan wahyu Allah, Zainab
kelak akan dinikahi oleh Nabi. Nabi takut bertemu dengan orang banyak, maka
beliau berkata kepada Zaid, “Tahanlah
istrimu itu dan takutlah kepada Allah”.
Di sinilah ayat Al-Qur’an kemudian turun
untuk menegur sikap Nabi. Dan seketika itu beliau menyingsingkan lengan bajunya
untuk tampil ke tengah-tengah masyarakat, guna menghapus sisa-sisa aturan kuno
dan tradisi yang usang, yang mengharamkan seseorang menikahi bekas istri anak
angkatnya yang pada hakikatnya ia adalah orang asing. Maka, Allah menegaskan
(yang artinya), “Dan
(ingatlah) ketika engkau berkata kepada orang yang telah diberi nikmat oleh
Allah dan engkau juga telah memberi kenikmatan kepadanya (Zaid bin Haritsah).
‘Tahanlah untukmu istrimu dan takutlah kepada Allah’, dan engkau menyembunyikan
dalam hatimu apa yang Allah tampakkan, dan engaku takut kepada manusia, padahal
Allahlah yang lebih berhak engaku takuti. Maka tatkala Zaid memutuskan untuk
mencerai Zainab, Kami (Allah) nikahkan engkau dengan dia, supaya tidak
menjadikan beban bagi orang-orang mukmin tentang bolehnya mengawini bekas istri
anak-anak angkatnya apabila mereka itu telah memutuskan mencerainya, dan
kepustusan Allah pasti terlaksana.” (Al-Ahzab [33] : 37).
Kemudian Al-Qur’an meneruskan untuk
melindungi pribadi Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam perbuatan ini, memperkuat alasannya
dan menghilangkan anggapan dosa karena perbuatan itu. Maka, ditegaskan dalam
Al-Qur’an (yang artinya), “Tidak
boleh ada keberatan atas diri Nabi dalam hal yang telah diwajibkan oleh Allah
kepadanya menurut sunatullah pada orang-orang yang telah lalu sebelumnya, sebab
perintah Allah itu suatu ketentuan yang telah ditentukan, (yaitu) orang-orang
yang menyampaikan suruhan Allah dan mereka takut kepada-Nya, dan tidak takut
kepada siapa pun kecuali kepada Allah; dan cukuplah Allah sebagai pengira.
Tidaklah Muhammad itu ayah bagi seseorang laki-laki kamu, tetapi dia adalah
utusan Allah dan penutup bagi sekalian Nabi, dan Allah Maha Mengetahui
tiap-tiap sesuatu.” (Al-Ahzab [33] : 38-40).
pengangkatan anak yang diakui oleh beberapa
orang, tetapi pada hakikatnya bukan pengangkatan anak yang diharamkan oleh
Islam. Yaitu seorang ayah memungut seorang anak kecil yatim atau mendapatkan di
jalanan, kemudian dijadikan seperti anaknya sendiri, baik dalam hal kasih
sayangnya, pemeliharaannya maupun pendidikannya. Anak itu diasuh, diberinya
makan, diberinya pakaian, diajar dan diajak bergaul seperti anaknya sendiri.
Tetapi bedanya, dia tidak menasabkan anak itu pada dirinya dan tidak
diperlakukan padanya hukum-hukum anak seperti tersebut di atas.
Ini suatu cara yang terpuji dalam pandangan
agama Allah. Siapa yang mengerjakannya akan beroleh pahala kelak di surga. Seperti yang dikatakan sendiri oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam di
dalam haditsnya, “Saya akan
bersama orang yang menanggung anak yatim seperti ini, sambil ia menunjuk jari
telunjuk dan jari tengah, lalu ia renggangkan antara keduanya.”
(HR. Bukhari, Abu Dawud dan Tirmidzi).
Laqith (anak yang
dipungut di jalan) sama dengan anak yatim. Tetapi untuk anak seperti ini lebih
patut dinamakan ibnu sabil (anak jalan) yang oleh Islam kita dianjurkan untuk
memeliharanya.
Apabila seseorang yang memungutnya itu
tidak mempunyai keluarga, kemudian ia bermaksud akan memberikan hartanya itu
kepada anak pungutnya tersebut, maka ia dapat menyalurkan melalui cara hibah
sewaktu ia masih hidup, atau dengan jalan wasiat dalam batas sepertiga pusaka,
sebelum ia meninggal dunia.
Sejarah tadi Disalin ulang dari buku “Bersanding dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam di Surga“, karya Ust. Abu Umar Basyir, penerbit:
Mumtaza